Dukungan Para Pakar, Perpanjangan  Masa Jabatan Kepala Daerah Punya Dasar Jelas

Jakarta | Buletintangerang.Com Pembentukan daerah otonom yang diserahkan pusat ke daerah untuk tujuan mengurus urusan sendiri kepentingan daerah, termasuk urusan kepala daerah dan anggota DPRD yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyatnya adalah bagian dari amanah pasal 18 ayat 3 dan 4  UUD 1945.

Artinya, penyelenggara pemerintahan daerah ini menurut hukum dasar wajib dipilih (elected). Haram hukumnya bila diangkat (appointed), kecuali keadaan darurat, seperti kepala daerah dan wakilnya minta cuti kampanye atau di OTT KPK.

“Dalam kasus itu bisa diangkat Pj dari ASN untuk waktu yang tidak lama,”ujar Prof Dr. Djohermansyah Djohan, pendiri Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) dalam acara konfrensi pers, di Jakarta, Jumat (18/2/2022)

Pernyataan Djohermansyah itu, sekaligus merespon statemen Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik,atas apa yang dilempar kepublik lewat media masa atas “Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah Berpotensi Langgar Aturan”.

Atas dasar itu, memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional 2024, sangat konstitusional.

Berbeda sekali dengan menunjuk atau mengangkat pejabat ASN alias pegawai negeri (appointed) yang nyata-nyata bukan hasil pemilihan rakyat. Apa lagi dalam waktu yang lama berbilang tahun, bahkan ada yang hampir 3 tahun.

“Jumlah pejabat ASN yang akan diangkat sebagai kepala daerah itu juga sangat banyak. Jumlahnya mencapai 272 orang, serta ada pula peristiwa hajatan penting politik (pilpres, pileg dan pilkada) di mana ada fakta ASN rentan dipolitisasi,” papar Djohermansyah yang menganggap sangat riskan bila itu dilakukan.

Kepala daerah yang saat ini menjabat adalah hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2017 dan 2018. Mereka tetap dianggap memiliki legitimasi, seperti halnya suara suara partai-partai politik pengusung presiden untuk pemilu Februari 2024 yang akan datang tetap menggunakan perolehan suara pada pemilu April 2019 lalu.

Menurut Djohermansyah Djohan, pejabat ASN yang diangkat menjadi Pj Kepala daerah itu bukan dari hasil pemilihan rakyat, tetapi pengangkatan oleh eksekutif (Presiden/Mendagri). Jadi, sama sekali tidak memiliki legitimasi dan berpotensi kuat melanggar konstitusi.

*Periodisasi Masa Jabatan KDH*

Perihal terkait periodisasi dan lama masa jabatan kepala daerah tidak diatur di dalam  Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi diatur di dalam UU Pemda No 23/2014, dan ditegaskan di dalam UU Pilkada No 10/2016.

Masa jabatan kepala daerah lima tahun sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Prinsipnya seseorang jadi kepala daerah hanya boleh dua periode. Masa jabatan per periode lima tahun.

Bagaimana kalau terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah karena habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023? Hal ini lah yang menjadi pemikiran dan usulan pakar otonomi daerah dan hukum tata negara yang bersama sama mengusulkan pemerintah pusat, agar  memperpanjang masa jabatannya ketimbang mengangkat PJ ASN yang penuh problem.

Pengaturan pemerintah lewat UU Pilkada No 10/2016,  agar tidak terjadi vacuum of power satu haripun, diangkatlah (appointed) penjabat kepala daerah dari pejabat ASN dalam waktu yang cukup lama hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional 2024, dan ini dianggap sesuatu yang tidak lazim, berpotensi jadi masalah di daerah dimana Penjabat ASN itu ditempatkan.

“Notabene mereka yang menjadi penjabat kepala daerah itupun bukanlah produk demokrasi dari pemilihan rakyat sesuai amanah konstitusi. Karena waktu yang dijabat Penjabat ASN inipun cukup lama, ini akan memiliki dampak dan masalah serius.” ujar Djohermansyah.

Menurut Djohermansyah yang menarik lagi di dalam UU Pilkada No 10/2016 itu masa jabatan kepala daerah hasil pilkada Desember 2020 yang baru dilantik tahun 2021 hanya sampai tahun 2024 alias dipotong lebih kurang dua tahun. Artinya, masa jabatan kepala daerah diperpendek gara-gara ada pilkada serentak nasional.

Ditahun 1999, masa jabatan anggota DPR dan DPRD hasil pemilu 1997 juga dipotong tiga tahun gara-gara pemilu pasca jatuhnya rezim Orba dipercepat ke tahun 1999.

Logikanya, jika masa jabatan kepala daerah hasil pilihan rakyat bisa diperpendek, maka tentu ada yang bisa pula diperpanjang, karena adanya penataan kebijakan pilkada serentak nasional.

Bagi yang masa jabatannya diperpendek gara-gara ada penataan pilkada harus diberikan kompensasi seperti gajinya tetap dibayarkan untuk jangka waktu lima tahun. Sedangkan bagi mereka yang diperpanjang diberikan bonus tambahan uang pensiun.

Idealnya siapa yang bisa diperpanjang? Para kepala daerah beserta wakilnya hasil pilkada tahun 2017 dan 2018. Mereka tetap bisa menjabat berpasangan hingga dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional 2024.

Apalagi mereka memiliki keunggulan, di antaranya : telah mengenal kehidupan masyarakat di daerahnya, telah menjalankan roda birokrasi pemda, berpengalaman menghadapi dinamika politik lokal, ekonomi, dan sosial budaya, terlebih lagi dalam menangani dan mengatasi C-19 di daerahnya.

Lagi pula, bila diperpanjang mereka akan fokus bekerja untuk pemda, tetap berpasangan kepala daerah dibantu wakil, dan tidak pula rangkap jabatan dengan jabatan lain sebagaimana pengangkatan penjabat dari ASN.

Statemen J Kristiadi juga tak jauh dengan apa yang dikatakan narasumber lainnya. Ia setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Terlebih lagi di Papua Barat yang menurutnya suasana politiknya agak berbeda dengan daerah lain.

“Dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah, gubernur yang menjabat bisa menjaga keharmonisan dan kelancaran pembangunan. Sangat berbahaya kalau diganti dengan Penjabat yang masa tugasnya sangat lama. Ini bisa membuat luka batin,” imbuhnya.

Sementara Azyumardi Azra mengemukakan empat poin bila Pj KDH yang ditunjuk pemerintah pusat menjabat dalam jangka waktu yang panjang. Pertama, ini adalah kemunduran demokrasi. Kedua, kembalinya sentralisasi. Ketiga, hilangnya kedaulatan rakyat. Keempat, menguatnya cengkeraman oligarki. (Diaz/man)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini