SP3 Kejati Banten Jadi Pemantik, Rp 105 Miliar “Biaya Internet” Pemkab Tangerang “Dibawa Kemana ?

Foto : Akhwil.SH ( Praktisi Hukum & Aktivis)

BT.COM, – dugaan penyimpangan anggaran pengadaan internet senilai Rp 105 miliar di Kabupaten Tangerang yang dihentikan Kejati Banten masih menjadi perhatian publik, Pasalnya tidak ditemukan peristiwa pidana” banyak pertanyaan.khusus kalagan Penggiat Hukum.
“Terungkap dari dokumen pengadaan, termasuk adanya dugaan fee proyek sebesar Rp 7,5 miliar selama kontrak 5 (lima) tahun (2021–2025), potensi pelanggaran hukum.”ungkap Akhwil. ( Praktisi Hukum & Aktivis) pada Selasa 14 Januari 2025 di Tangerang.
Menurut Akhwil, kejanggalan proses pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku perlu dikaji kembali untuk menentukan apakah kasus ini dapat dibuka kembali. sesuai aturan yang berlaku, yakni :
1. Pelanggaran Potensial Berdasarkan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pengadaan barang/jasa pemerintah diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 beserta perubahannya dalam Perpres No. 12 Tahun 2021, yang menetapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan bebas dari konflik kepentingan.
Dalam kasus ini, beberapa potensi pelanggaran yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Pengadaan melalui Katalog Elektronik, Berdasarkan informasi, pengadaan internet melalui katalog elektronik dengan kode 2021-PNI-DO-DOM-1000 Mbps-DIAMANTE- Last Mile Domestic 100 Mbps.
Pengadaan melalui katalog elektronik diatur, Pasal 38 Perpres No. 16 Tahun 2018, yang memungkinkan pemilihan barang/jasa tanpa tender. Namun, pelanggaran dapat terjadi jika:
1. Proses Analisis Kebutuhan Tidak Sesuai: Pengadaan spesifikasi internet 1000 Mbps harus didukung dokumen analisis kebutuhan yang jelas dan justifikasi manfaatnya.
“Jika tidak ada kebutuhan nyata, bisa jadi dapat melanggar prinsip efisiensi anggaran negara, “ujar Akhwil
2. Penyedia yang Bermonopoli: Jika terdapat indikasi, PT PNI bekerja sama dengan pejabat tertentu untuk memasukkan produk ke katalog elektronik demi mengamankan proyek, maka hal ini melanggar prinsip persaingan usaha sehat.
b. Tambahan Anggaran Tanpa Dasar yang Jelas yakni Tambahan anggaran sebesar Rp 12 miliar untuk sewa alat internet pada tahun 2023 menimbulkan pertanyaan:
Apakah kebutuhan sewa alat ini telah direncanakan dalam dokumen pengadaan awal?
“Jika tidak, tambahan anggaran itu dapat melanggar Pasal 26 ayat (2) Perpres No. 16 Tahun 2018 yang mengharuskan perubahan kontrak memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan peraturan pengadaan Bar-Jas,”ucap nya.
c. Penetapan Harga dan Potensi Markup, Harga produk tercantum dalam katalog elektronik seharusnya sudah diverifikasi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Namun, jika terdapat indikasi harga produk jauh lebih tinggi dibandingkan harga pasar untuk spesifikasi serupa,
“Maka hal ini melanggar prinsip kehematan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perpres No. 16 Tahun 2018,” sambung nya.
2. Kontrak Multiyears dan Potensi Cacat Hukum Yakni, Pengadaan internet ini dilakukan melalui kontrak multiyears dengan total nilai Rp 105 miliar untuk periode lima tahun (2021–2025). Kontrak multiyears diatur dalam Pasal 33 Perpres No. 16 Tahun 2018, dengan syarat:
1. Adanya Persetujuan DPRD: Pengadaan multiyears memerlukan persetujuan DPRD terkait alokasi anggaran untuk beberapa tahun anggaran.
“Jika persetujuan ini tidak ada atau tidak sesuai prosedur, kontrak dapat dianggap cacat hukum,”tegas nya.
2. Dokumen Perencanaan yang Kuat: Kontrak multiyears harus didukung oleh dokumen perencanaan yang mencakup analisis manfaat dan risiko.
“Jika dokumen ini tidak ada, maka kontrak tidak memiliki dasar hukum yang sah, “tutur Akhwil
3. Potensi Pelanggaran Hukum Berdasarkan UU Tipikor
Jika terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau kerugian negara dalam proses pengadaan ini, maka kasus ini dapat memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Pasal 2 ayat (1): Korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.
Pasal 3: Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pengadaan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Dugaan aliran dana fee proyek sebesar Rp 7,5 miliar dari total kontrak dapat menjadi indikasi awal adanya praktik korupsi,
“Meskipun hal ini harus didukung dengan bukti yang sah, seperti audit keuangan dan pelacakan aliran dana,”imbuh nya.
4. Langkah untuk Membuka Kembali Kasus
Penghentian penyidikan oleh Kejati Banten berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dapat dibuka kembali jika ditemukan bukti baru (novum) yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum.
Langkah strategis untuk membuka kembali kasus ini meliputi:
1. Audit Independen oleh BPK/BPKP:
Audit ulang untuk memastikan tidak ada markup harga, penggelembungan anggaran, atau kerugian negara.
2. Pelacakan Aliran Dana: Investigasi aliran dana terkait fee proyek untuk membuktikan keterlibatan pihak tertentu.
3. Pemeriksaan Dokumen Perencanaan dan Kontrak: Evaluasi dokumen perencanaan, kontrak, dan tambahan anggaran Rp 12 miliar untuk memastikan kesesuaiannya dengan Perpres No. 16 Tahun 2018.
Dirinya menyimpulkan, Berdasarkan kajian terhadap Perpres No. 16 Tahun 2018 dan UU Tipikor, dugaan penyimpangan pengadaan internet senilai Rp 105 miliar di Kabupaten Tangerang memiliki potensi untuk dibuka kembali jika ditemukan bukti baru.
“Potensi pelanggaran hukum meliputi analisis kebutuhan yang tidak memadai, dugaan markup harga, tambahan anggaran yang tidak sesuai prosedur, dan pelanggaran dalam kontrak multiyears. Audit independen, pelacakan aliran dana, dan transparansi dari aparat penegak hukum sangat penting untuk mengungkap kebenaran atas kasus ini,” kata Akhwil menutup pendapat nya. (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini